.
Para Perintis
Pintu Masuk Pameran |
Pameran Kadatuan Sriwijaya yang bertajuk Perjalanan Suci diselenggarakan oleh Kemendikbud pada tanggal 20-24 Agustus 2014 di WTC Jambi. diharapkan pengunjung dapat mengetahui sejarah berdirinya kerajaan sriwijaya dan menghargai perintis-perintis peneliti Sriwijaya. disini dipajang panel-panel dan replika prasasti dan patung tentang sriwijaya.
Para Perintis
R. Soekmono |
R. Soekmono Lahir tanggal 14 Juli 1922, di Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah. Soekmono termasuk salah satu arkeolog pertama bangsa Indonesia yang menjadi perintis dalam penelitian Sriwijaya. Pada tanggal 1-16 maret 1954, Soekmono memimpin sebuah tim ekspedisi Dinas Purbakala yang bertugas melakukan peninjauan kepurbakalaan di Sumatera Selatan dan Jambi. Dalam ekspedisi itu Soekmono berpendapat, pada masa Sriwijaya garis pantai timur Sumatera terletak didaerah pedalaman. Bila Palembang itu pusat Sriwijaya, Ia seharusnya terletak di tepi pantai. Pada masa lalu, hubungan antar pulau dan wilayah lain di luar Nusantara hanya dapat dilakukan dengan pelayaran. Palembang harus menjadi kunci untuk bagian rute utama dalam lalu lintas laut.
Satyawati Suleiman |
Bersama rekannya, R. Soekmono, Satyawati Suleiman adalah juga arkaeolog pertama bangsa Indonesia. Ia pun meraih gelar sarjana pada tahun yang sama dengan Soekmono, Tahun 1953 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Di kalangan arkeolog, Satyawati Suleiman- Lahir tanggal 7 oktober 1920 - dikenal sebagai ahli ikonografi (seni arca). Namun pengetahuannya mengenai benda-benda tinggalan budaya masa lalu lainnya. juga sangat luas. Dalam ekspedisi Peninjauan kepurbakalaanSumatera Selatan dan Jambi Tahun 1954. Ia pun ditunjuk sebagai salah satu anggota team. Apa yang dilakukan Satyawati Suleiman dalam ekspedisi itu menjadi rintisan jalan bagi kajian-kajian Sriwijaya selanjutnya. khususnya studi tentang ikonografi arca-arca masa klasik hindu-budha di Sumatera.
Boechari |
Saat Tim Dinas Purbakala Melakukan Peninjauan Kepurbakalaan di Sumatera Selatan dan Jambi tahun 1954, Boechari - Lahir tanggal 24 Maret 1927 - masih berstatus mahasiswa jurusan arkeologi. ia menjadi anggota tim karena pengetahuan dan kepandaiannya dalam membaca prasasti. Dan boechari, kelak, memang menjadi epigraf ternama Indonesia, yang hingga kini belum ada tandingannya. Kajian-kajian prasastinya kerap menjungkir balikkan pendapat para epigraf Belanda. Tentang Sriwijaya, Kajiannya terhadap prasasti Ligor membawa pada pendapat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Bahwa prasasti tersebut, dikeluarkan pada masa berbeda. Balaputradewa (Ligor B) dan Kakeknya (Ligor A).
SRIWIJAYA
Sebuah Nama Kerajaan Besar
DAPUNTA HYANG
Misteri Sang Pendiri
Tak perlu diperdebatkan lagi, pendiri kadatuan Sriwijaya adalah dapunta hyang, nama lengkapnya, Dapunta Hyang Srijayanasa. Ia Datu (raja) pertama Sriwijaya. Ia yang memimpin rombongannya melakukan perjalanan suci, dan kemudian membangun sebuah wanua hingga berkembang jadi pusat kedatuannya. Dan Dapunta Hyang, pasti-pastinya juga orang orang melayu yang beragama Budha, prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, semuanya berbahasa melayu kuno. Dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M), sebagaimana penafsiran ahli epigraf Boechari, beliau diceritakan merayakan waisak di sebuah kuil budha dan mengambil siddhayatra, setelah itu barulah dapunta hyang melakukan ekspedisinya.
Namun Asal-usul Dapunta Hyang masih misterius. Tak satu pun prasasti yang mengisahkan silsilahnya. Ada pendapat, dapunta hyang itu anggota wangsa syailendra, wangsa yang pernah berkuasa di tanah Jawa pada abad ke-7 sampai abad ke-9 Masehi. Benarkah? Pendiri wangsa syailendra, Dapunta Selendra- namanya disebut dalam prasasti Sojomerto dari pertengahan abad ke-8 Masehi- memang berasal dari sumatra. Namun keturunan Syailendra berkuasa di Sumatera baru dimulai sejak Balaputradewa. Itu pun karena perkawinan dengan Tara, anak Darmasetu, Raja Sriwijaya dari Somawangsa. Kakek Balaputra dari pihak ayah, disebut sebagai “Permata Wangsa Syailendra, Raja Bumi Jawa, Pembunuh musuh yang gagah perwira”. Yang tak lain merupakan julukan Rakai Panangkaran. Tentang Darmasetu, mungkin ia pengganti Dapunta Hyang, mungkin pula keturunannya. Hanya itu yang kita ketahui tentang Dapunta Hyang. (Bersambung)
Sebuah Nama Kerajaan Besar
"Sriwijaya". Kata ini pertama kali dijumpai tertulis pada prasasti Kota Kapur (608 Saka atau 686 Masehi) ditemukan pada tahun 1892. Hendrik Kern, ahli purbakala Belanda yang pertama kali membaca prasasti Kota Kapur tahun 1913, mengidentifikasikan "Sriwijaya" sebagai nama seorang raja: Raja Wijaya. Alasannya, dalam sejarah kuno Indonesia, kata "Sri" biasanya dipakai untuk sebutan atau gelar seorang raja. Kata "Sriwijaya" selanjutnya juga dijumpai pada prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 604 Saka (682 M). prasasti tertua masa sriwijaya ini ditemukan pada tanggal 29 November 1920, jauh setelah penemuan prasasti Kota Kapur.
Namun George Coedes, peneliti kebangsaan Perancis, tahun 1918, membantah pendapat Kern. "Sriwijaya". menurutnya, adalah nama sebuah kerajaan besar yang pernah disebut-sebut dalam kronik-kronik dinasti Cina, atau catatan perjalanan para musafir Cina dan Arab. Lagi pula dalam Prasasti Kota Kapur, masih menurut Coedes, di depan kata "Sriwijaya" ini terdapat kata-kata "Kadatuan" (kerajaan), Datu (Raja), Walla (Tentara). Beberapa prasasti lain pun menyebutkan "Sriwijaya" sebagai nama sebuah kerajaan. Dalam Prasasti Ligor yang ditemukan di sekitar Tanah Genting Kra, misalnya, tertulis ungkapan Sriwijayendraja yang berarti "raja Sriwijaya". Sementara dalam prasasti yang dikeluarkan Raja India, Raja I, pada tahun 1006 --dikenal dengan nama Piagam Leiden--tertulis nama Marawijayatunggawarman sebagai raja Sriwijaya dan Katah (Kedah)
DAPUNTA HYANG
Misteri Sang Pendiri
Tak perlu diperdebatkan lagi, pendiri kadatuan Sriwijaya adalah dapunta hyang, nama lengkapnya, Dapunta Hyang Srijayanasa. Ia Datu (raja) pertama Sriwijaya. Ia yang memimpin rombongannya melakukan perjalanan suci, dan kemudian membangun sebuah wanua hingga berkembang jadi pusat kedatuannya. Dan Dapunta Hyang, pasti-pastinya juga orang orang melayu yang beragama Budha, prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, semuanya berbahasa melayu kuno. Dalam prasasti Kedukan Bukit (682 M), sebagaimana penafsiran ahli epigraf Boechari, beliau diceritakan merayakan waisak di sebuah kuil budha dan mengambil siddhayatra, setelah itu barulah dapunta hyang melakukan ekspedisinya.
0 komentar :
Posting Komentar